Kamis, 29 Januari 2009

Omset 0 Rupiah

12 Januari 2009 menjadi tanggal penting dalam perjalanan bisnis saya. Bukan karena hari itu kami mendapat angka penjualan yang fantastis. Justru sebaliknya. Hari itu tak ada transaksi jual-beli di outlet kami. Ya, hari itu omset outlet kami 0 rupiah. Kabar itu sampai kepada kami setelah karyawan kami, Sri, memberitahu melalui SMS, sesuatu yang mengagetkan saya dan istri.

"Ini betul-betul ujian bagi kita untuk sabar, syukur, dan ikhlas," ujar saya menenangkan istri, meski hati kecil saya sendiri juga perlu ditenangkan, hehehe…. Saya betul-betul tidak siap dan sampai beberapa hari mood saya jatuh hampir ke titik nol.

Sejak buka 15 Desember lalu, omset harian outlet kami meleset dari perkiraan, masih jauh dari target minimal yang saya tetapkan. Sesuai rumus bisnis dari Pak Ryad Kusuma, saya targetkan bisa balik modal dalam waktu satu tahun. Saya berusaha menerapkan berbagai teori untuk menarik pengunjung dari para motivator dan penasehat bisnis saya, mulai dari gencar berpromo, penataan outlet yang menarik, hingga senantiasa berperasaan positif.

Saya optimis dengan target itu setelah melihat traffic (lalu lintas) orang dan kendaraan di jalanan depan outlet kami terbilang sangat tinggi. Rupanya saya masih harus menyimpan target itu. Nyatanya, traffic tak selalu berbanding lurus dengan penjualan. Saya masih harus berpikir keras, menerapkan strategi dan taktik penjualan dan marketing yang lebih canggih. Di samping itu, yang jauh lebih berat adalah menjaga stamina dan semangat. Penjualan yang rendah seringkali menjatuhkan mental kita.

"Hey! Jangan biarkan semangat dan optimisme menyusut! Ayo bangun, Bung!" bisik hati saya. Semangat dan optimisme adalah dua hal yang melekat dalam cerita-cerita sukses. Penjualan yang minim justru harus memompa semangat saya untuk terus berinovasi dalam promo dan pemasaran. Inilah tantangan. Situasi sulit justru harus memaksa kita untuk terus berpikir dan bekerja keras.

Sabtu, 17 Januari 2009, saya kembali ke Jogja karena ada kuliah dari Prof Olle dari Norwegia pada hari Senin. Dua hari di kamar kos saya merenungkan semuanya, mengendapkan seluruh kegelisahan saya, membekukan keraguan saya.

Ada titik terang. Ternyata kuncinya ikhlas. Ya, ikhlas, sebuah bentuk penyerahan diri kepada Sang Penguasa Alam. Saya harus serahkan hasil dari usaha kita kepada Gusti Allah. "Tugas kita bukan untuk berhasil, tetapi untuk mencoba," saya masih ingat kata-kata Mario Teguh itu. Kita wajib bekerja, berdoa, dan memelihara pengharapan yang positif agar bisa menarik energi-energi positif di alam semesta yang mendukung seluruh capaian yang ingin kita gapai. Titik akhirnya adalah ikhlas, membiarkan tangan-tangan ghaib yang Maha Kuat bekerja meluluskan keinginan kita.

Saat ini saya tak lagi ragu, tidak pula gelisah ketika mendengar outlet kami belum juga mencapai target minimal yang ditetapkan. Saya serahkan semua hasil kepada Sang Penguasa Alam. Yang penting saya telah dan akan terus bekerja memperbaiki kinerja, berperasaan dan berpengharapan positif, lebih banyak lagi sedekah, perbanyak doa, lebih disiplin dalam ritual dhuha dan tahajud. Setelah itu perkuat keyakinan bahwa keberhasilan hanya soal waktu saja. Saya yakin Tuhan sudah menghitung setiap butir keringat kami dan itu semua pasti akan dibalas bahkan melebihi jumlah keringat itu. Sekali lagi, ini hanya soal waktu saja. "Akan ada akumulasi keringat," ujar Wanto, adik ipar saya, suatu ketika.

Urusan dengan diri saya selesai. Bagaimana dengan istri? Dia masih diliputi keraguan. Hampir setiap hari saya menelpon atau SMS untuk menguatkan kembali semangatnya, memulihkan kepercayaan dirinya. Apalagi bulan depan saya sudah tidak di sampingnya selama lebih dari empat bulan karena saya harus kuliah di Oslo, Norwegia.

Saya bilang, "Ikhlaskan saja. Mau dapat berapapun hari ini, itu bukan urusan kita. Serahkan semuanya sama Gusti Allah. Yang penting kita jangan sampai berhenti bergerak. Besok kita harus bekerja lebih keras, lebih gencar lagi berpromo, lebih banyak lagi kita memberikan keuntungan untuk pelanggan. Trius, kita juga harus perbanyak lagi sedekah, perkuat lagi doa dan wiridnya, dhuha dan tahajudnya."

"Ikhlas itu susah, Yah. Hati kecilku masih ragu karena ada kewajiban belanja tiap bulan dari Rabbani. Bisa gak kita penuhi itu, sementara omsetnya segitu-gitu aja?" tanya istri saya di ujung telepon. "Kamu harus yakin bisa. Keraguan itulah yang menghalangi keberhasilan kita. Apa yang kita capai adalah apa yang kita rasakan dan pikirkan. Buang keraguan itu dengan optimisme. Tanamkan optimisme dengan syukur atas rahmat dan berkah yang sudah kita terima," ujar saya.

Saya mengatakan bahwa tak ada satupun alasan yang membenarkan kita pesimis dan ragu. Karena kalau kita begitu, itu artinya kita tidak mensyukuri apa yang sudah kita terima, tak menikmati apa yang sudah kita capai. "Lihatlah apa yang sudah kita capai sekarang. Dari segi apapun kita tetap jauh lebih beruntung daripada orang-orang di sekitar kita. Kita harus bersyukur. Syukur dan ikhlas memancarkan dan menarik energi positif ke dan dari alam semesta. Energi positif di dalam diri kita itulah yang akan melakukan percepatan pemenuhan atas apapun yang kita inginkan," tegas saya.

Begitulah, saya berulangkali menegakkan kembali keyakinan istri saya. Tak ada cara lain. Bisnis itu kami jalankan berdua. Karena itu, kami harus satu frekuensi. "Kalau hanya aku yang yang yakin dan optimis sementara kamu tidak, proyek kita akan sulit, akan pincang. Kita harus jalan sama-sama, yakin dan optimis sama-sama. Kita harus berprasangka positif kepada Gusti Allah. Betapapun buruknya situasi yang menimpa kita, itulah cara Gusti Allah memuliakan kita," kata saya sembari tetap merapatkan Nokia 1110i di telinga.

Saya sebetulnya tak sabar ingin pulang ke Ciamis. Saya ingin berada di samping istri saya untuk menguatkan hatinya. Tapi tugas akhir kuliah menumpuk. Saya harus bikin tiga paper panjang karena perkuliahan semester pertama sudah selesai. Tugas-tugas itu harus saya selesaikan sebelum saya berangkat ke Oslo, Norwegia, 22 Februari mendatang. Asep Mulyana http://asep1974.blogspot.com *diposting seijin kang Asep Mulyana ^_^

2 komentar:

  1. [...] suka duka. Hari ini ada email yg sangat menyentuh saya, dari kang Asep Mulyana, tentang bagaimana omset penjualannya menyentuh Rp. 0. Tapi paragraf-paragraf tentang ke-ikhlas-anya seakan menampar [...]

    BalasHapus
  2. tenang, gq juga pernah gitu...
    modal smangat itu bakal kekal kalo kesabaran itu mengiringinya...
    masang outlet di hotel pas acara hari ibu, dari 3 hari bikin plan, mlm siapin outlet, subuh pd sibuk...eh dari pagi ampe tutup (cuma 1 hari), gak ada pembelian...haha :D
    eh pas dievaluasi, ketemu jawabannya! taun depan kudu lariiis manis! hehe...:)

    thanks dod.

    BalasHapus